Gerald Aldytia Bunga., S.H., LL.M
Dosen Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana
Belakangan ini industri mobil listrik menjadi primadona dengan semakin larisnya penjualan mobil listrik di pasaran. Sehubungan dengan industri mobil listrik ini, Indonesia sejak awal tahun 2020 melalui presiden Joko Widodo telah menyatakan untuk menghentikan ekspor biji nikel. Hal ini mengejutkan banyak negara pengekspor nikel Indonesia karena nikel merupakan bahan utama dalam pembuatan lithium baterai yang merupakan sumber penggerak mobil listrik. Saat ini, tanpa nikel, akan susah untuk menghasilkan baterai bagi mobil listrik dan tanpa baterai, mobil listrik hanya akan menjadi pajangan.
Hingga saat ini Indonesia merupakan produsen biji nikel terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai 800 ribu ton pada tahun 2019, hampir dua kali lipat lebih besar dari Filipina di peringkat kedua dengan jumlah produksi sebesar 420 ribu ton di tahun 2019 dan Rusia yang besar produksi biji nikelnya “hanya” 270 ribu ton pada tahun 2019. Pada tahun yang sama total produksi biji nikel dunia mencapai 2,6 juta ton, jadi pada tahun 2019, 31% produksi biji nikel berasal dari Indonesia. Berdasarkan data badan Geologi per Juli 2020, Indonesia mempunyai total sumber daya biji nikel mencapai 11,88 juta ton dan total cadangan biji nikel mencapai 4,34 juta ton. Karena itu tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa dengan biji nikel yang melimpah, Indoensia menjadi “gula” bagi “semut-semut” industri mobil listrik dunia.
Larangan Ekspor Biji Nikel dan Dampak Positivnya Bagi Indonesia
Kebijakan larangan ekspor biji nikel didasari pada Peraturan Menetri ESDM No 11 Tahun 2019 Tentang Larangan Ekspor Biji Nikel. Tujuannya dari diterapkannya kebijakan ini adalah akan terjadi hilirisasi industri nikel dalam negeri yang dapat mendorong pembukaan lapangan kerja baru dan meningkatkan nilai produk biji nikel dari bahan mentah menjadi bahan jadi yang tentu akan meningkatkan nilai jualnya pula. Arah kebijakan Indonesia ini tidak hanya ingin menjadikan biji nikel menjadi produk jadi yang dimurnikan di smelter dan hanya menjadi kobalt yang dapat mengisi lithium baterai yang biasanya digunakan di mobil listrik, namun Indoensia berambisi untuk bisa menjadi negara produsen lithium baterai. Hal ini jelas terlihat dalam kebijakan hukum yang diambil oleh pemerintah dengan mengeluarkan PERMEN ESDM No.11 Tahun 2019 Tersebut yang secara tidak langsung membuat PP No.1 Tahun 2017 Tentang Relaksasi Ekspor Biji Nikel menjadi tak berarti lagi. Padahal dalam PP ini diatur bahwa biji nikel masih dapat diekspor sampai tahun 2022 selama investor membangun smelter di Indonesia.
Respon negativ akan kebijakan Indonesia ini muncul dari Uni Eropa yang menggugat Indonesia di Dispute Settlemente Body (DSB) World Trade Organization (WTO)/Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdaganagan Dunia. Gugatan ini dilakukan karena Uni Eropa membutuhkan biji nikel untuk digunakan dalam produksi baja tahan karat yang mereka lakukan. Namun di satu sisi gugatan ini juga terasa aneh karena Uni Eropa sendiri bukan pengekspor utama biji nikel dari Indonesia. Menurut Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, pada tahun 2008 Uni Eropa hanya membeli 2,3% produksi nikel dari Indonesia, tahun 2009-2013 hanya 5%, tahun 2014 bahkan hanya 0,3%, sedangkan tahun 2015-2017 malah tidak pernah membeli biji nikel dari Indonesia. Karena itu sangat tepat jika Indonesia mengakatakan dalam konsultasi di DSB WTO bahwa keberatan Uni Eropa bersifat prematur untuk dapat dibahas lebih lanjut.
Kebijakan Indonesia ini dapat dikatakan sangat tepat melihat perkembangan industri mobil listrik saat ini dan mengantisipasi perkembangannya ke depan di mana industri otomotif sudah mulai beralih secara perlahan ke penggunaan listrik sebagai sumber tenaga menggantikan bahan bakar dari minyak bumi. Karena itu sedari dini Indonesia harus mempersiapkan fondasi yang kuat untuk dapat menjadi pemain besar dalam industri mobil listrik ke depan yaitu dengan menargetkan untuk menjadi produsen terbesar di dunia lithium baterai yang merupakan sumber penggerak mobil listrik.
Untuk mencapai hal ini Indonesia menyadari bahwa kita tidak bisa mencapai mimpi ini dengan kekuatan sendiri karena keterbatasan dari segi modal maupun teknologi karena itu Indonesia sangat terbuka untuk bekerjasama dengan pihak asing lain baik negara maupun swasta untuk brinvestasi di Indonesia. Pada bulan November 2021 menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, menagtakan bahwa telah dicapai kerjasama investasi pabrik baterai listrik antara LG Energy Solution dan Konsorsium BUMN serta swasta Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$9,8 Miliar atau setara dengan Rp.142 Triliun yang merupakan investasi terbesar di Indonesia pasca reformasi. Selain LG, ada juga perusahaan Contemporary Amperex Tecnolgy Co (CATL) asal Tiongkok yang berinvestasi pada pendirian pabrik baterai listrik sebesar US$5,2 Miliar atau Rp.75,4 Triliun. Menurut Bahlil selain kedua perusahaan tersebut masih ada beberapa negara lain termasuk dari Eropa yang siap untuk berinvestasi dalam industri mobil listrik di Indonesia.
Keterbukaan Indonesia akan investasi dari berbagai negara manapun tanpa batasan, sepanjang mereka mau tunduk pada regulasi nasional Indonesia adalah hal yang baik namun pemerintah juga harus tetap mewaspadai kemungkinan adanya upaya-upaya untuk mempengaruhi kebijakan nasional dari para pihak yang telah melakukan investasi ataupun yang akan melakukan investasi agar dapat mengeluarakan kebijakan yang menguntungkan pihak mereka saja. Karena itu Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa Indonesia terbuka dengan kerjasama investasi dan bantuan dari semua negara namun jangan kemudian mendikte apa yang harus dilakukan oleh Indonesia karena telah melakukan investasi atau memberikan bantuan kepada Indonesia. (*)