Jakarta, penanusantara.com – Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terus meningkat selama masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data CATAHU Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau hampir delapan kali lipat.
Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) pun melonjak sebanyak 2.341 kasus pada 2020, melonjak dari tahun sebelumnya sekitar 65 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan kondisi perempuan Indonesia mengalami kehidupan yang tidak aman.
Indonesia Hari Sadewo mengemukakan bentuk kekerasan yang dialami anak dan perempuan meliputi kekerasan fisik, emosional, pelecehan seksual, dan eksploitasi komersial. Kekerasan tersebut membahayakan bagi kesejahteraan, martabat, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak.
“Pernah ada satu survei dari Kementerian Sosial tahun 2013 itu menyebutkan prevalensi kekerasan fisik pada anak perempuan 11 persen. Artinya, setiap ada anak perempuan 100 itu, sebelas anaknya pernah mengalami kekerasan fisik,” katanya.
Bahkan, persentase kekerasan seksual yang dialami anak perempuan lebih tinggi, yakni 41 persen. Artinya, dari 100 anak perempuan, 41 di antaranya mengalami jenis kekerasan tersebut.
Gender Equality & Social Inclusion Specialist Plan Indonesia, Rani Hastari menilai kekerasan yang dialami anak perempuan merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender. Hal itu sebagai salah satu konsekuensi dari ketidaksetaraan gender di Indonesia.
“Salah satu masalah yang ditimbulkan dari ketidaksetaraan gender itu adalah kekerasan berbasis gender itu sendiri,” katanya.
Salah Pelaku
Kekerasan berbasis gender merupakan tindakan yang merugikan, menyakiti, dan berdampak pada fisik dan psikis orang lain berdasarkan gender orang tersebut. Salah satu yang umum melatari adalah pilihan pakaian.
“Karena dia perempuan, norma yang berlaku di masyarakat ia harus mengenakan pakaian yang tertutup. Kemudian (ketika) ia pakai rok pendek dan diganggu dengan segerombolan orang, (korban) disalahkan karena pakaiannya. Ini termasuk kekerasan berbasis gender karena ada norma-norma yang ditujukan kepada perempuan dan membiarkan kekerasan tersebut terjadi,” Rani menerangkan.
Ia mengatakan sekalipun ada norma sosial yang dilanggar salah satu gender, hal itu bukan alasan untuk membenarkan tindak kekerasan pelaku. Menurut dia, apapun yang melatari, kesalahan tetap jatuh pada pelakunya.
“Kita tidak lagi mengatakan korbannya belum memenuhi standar yang ada di masyarakat, karena yang paling penting kita tahu KBG salah pelaku,” katanya.
Tak hanya di dunia nyata, kekerasan berbasis gender juga bisa terjadi dalam dunia maya. Dari sekian banyak pelaku, ia menyebut orang terdekat lah yang kerap bertanggung jawab. “Kita tidak bisa menutup mata kalau ternyata memang berdasarkan data pelakunya banyak laki-laki,” katanya.
Dampak bagi Korban
Rani menjelaskan kekerasan berbasis gender sangat berdampak pada korban, seperti mengalami trauma dan tonic immobility. “Tonic immobility itu badannya kaku, nggak bisa mikir. Sering kali kalau ada kekerasan ada stigma ‘kamu menikmati dong, kenapa kamu nggak melawan ketika diperkosa’, padahal ketika syok, tubuh tidak bisa bergerak,” katanya.
Selain itu, korban juga bisa merasa depresi, selalu merasa tidak aman, menyalahkan diri, bahkan mencoba bunuh diri. Ia pun membagikan beberapa langkah untuk mencegah atau menghentikan kekerasan tersebut, khususnya terkait pelecehan seksual.
Pertama, ketika akan mendapat KBG, saksi dan korban bisa bersikap tegas dan ringkas. Selanjutnya, korban dan saksi bisa menghentikan pelecehan dengan membuat distraksi. Ketiga, meminta bantuan orang ketiga.
Saksi bisa menunggu sampai situasi usai sebelum mengajak korban berbicara. Saksi juga bisa mendokumentasikan bukti pelecehan seksual, tetapi tidak membagikannya tanpa persetujuan korban. Saksi dan korban pelecehan seksual juga dapat menghubungi layanan bantuan seperti Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (*Jihan Karina Lasena)