Atambua, penanusantara.com – Pengamat Kebijakan dan Politik Universitas Nusa Cendana Yohanes Jimmy Nami menilai para anggota Fraksi Demokrat DPRD Belu yang melakukan Aksi walk out merupakan sikap politik.
Hal ini disampaikan Jimmy Nami menanggapi aksi meninggalkan ruangan atau walk out para anggota fraksi Demokrat DPRD belu saat menolak pembahasan rencana pinjaman daerah oleh Pemerintah Kabupaten Belu, yang merupakan agenda sidang saat itu.
Aksi walk out itu dilandasi oleh sikap Fraksi Demokrat sebelumnya yang menentang pembahasan rencana pinjaman daerah oleh Pemerintah Kabupaten Belu.
Menurut Jimmy, Apa yang dilakukan partai Demokrat merupakan sikap politik, konsiderannya jelas bahwa secara substansial pinjaman daerah yang akan diajukan pemda kepada bank ntt, dari perspektif politik partai Demokrat tidak memiliki urgensi. Disisi lain, jika dipaksakan, kabupaten belu akan menanggung beban utang dan bunga yang cukup besar 25 miliar dri pokok pinjam 150 miliar jika disetujui.
Disamping itu, disampaikan Jimmy juga dianggap akan menabrak regulasi terkait frame time pinjam dengan periodesasi masa kepemimpinan Bupati.
Dikatakan Jimmy, Sikap politik Demokrat ini perlu menjadi pertimbangan kolektif dari fraksi yang ada di DPRD belu.
“Jangan sampai atas nama pembangunan malah akan menjadi beban bagi masyarakat belu dikemudian hari, karena beban utang yang cukup besar,” ucap Jimmy, Jumat (9/9/2022) melalui pesan whatsapp.
Ia menambahkan, semoga saja sikap Partai Demokrat ini konsisten.
“Ya, semoga saja sikap Partai Demokrat ini konsisten ya jangan sampai hanya digunakan sebagai bargaining politik saja. perlu juga dipikirkan skala prioritas dalam pembiayaan pembangunan sehingga tidak memberatkan pemda dari sisi pembiayaan, apalagi dalam situasi seperti sekarang,” katanya lagi.
Diberitakan sebelumnya, Fraksi Demokrat DPRD Belu memilih walk out kemarin (7/9/2022). karena menolak pembahasan rencana pinjaman daerah oleh Pemerintah Kabupaten Belu, yang merupakan agenda sidang saat itu.
Frans Xaver Saka sebagai Ketua Fraksi, Kristoforus Rin Duka sebagai Sekretaris dan Jeremias Manek Seran Jr sebagai anggota Fraksi sekaligus Ketua DPRD Kabupaten Belu ramai-ramai meninggalkan ruang Badan Anggaran (Banggar) yang dihadiri Sekda Kabupaten Belu, Johanes Andes Prihatin.
Ketua Fraksi Demokrat, Frans Xaver Saka, sekeluarnya dari ruang sidang, mengatakan Fraksi menolak dengan beerapa alasan. Pertama, tidak ada urgensinya.
“Kita harus menanggung bunga 25 miliar, tidak ada urgensinya dan tidak ada percepatannya di situ karena realisasi pinjaman daerah dan realisasi PAD kita itu selisihnya bulan saja. Kedua, belum terbayarnya JPS (Jaring Pengaman Sosial). Hak-hak masyarakat belum dibayarkan, tapi kita sudah membebani bunga untuk masyarakat kita sendiri. Ketiga, dari penjelasan pak Sekda, realisasi pinjaman daerah, kalau tidak ada halangan, terjadi di bulan Desember. Pertanyaannya, apakah dalam musim hujan infrastruktur bisa dikerjakan?,” tegas Frans Xaver Saka.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Belu, Jeremias Manek Seran Jr, mengatakan Dalam mekanisme sidang tadi, masuk dalam tahapan Banggar. membahas tentang KUA PPAS APBD Perubahan 2022.
“Di dalamnya, sebelum melanjutkan terhadap KUA PPAS itu, masih perlu disamakan persepsi terhadap pos pembiayaan. Ada ketambahan Rp. 150 miliar. Itu adalah pembiayaan dari pinjaman daerah di Bank NTT. Terjadi perbedaan pendapat di sini dan Fraksi Demokrat menyatakan sikap, tidak penting dan minta pertimbangkan urgensinya, soal regulasinya, karena berdampak hukum” demikian alasan Manek Jr., sapaan akrab Ketua DPRD Belu, senada dengan Ketua Fraksinya.
Terkait regulasi, Manek Jr., menyampaikan Fraksi Demokrat konsistensi terhadap regulasi PP 56 Tahun 2018 Pasal 13 ayat (1) yang mengatur soal pengembalian pinjaman daerah harus sebelum masa akhir jabatan dari kepala daerah di daerah bersangkutan”. Lebih lanjut mengatakan, “Undang-undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat 7 mengatur kepalda daerah hasil Pilkada 2020 berakhir masa jabatannya di tahun 2024.
“Itu yang menjadi point penting, sehingga kenapa Demokrat mengambil sikap untuk menolak atau tidak menyetujui masuk dalam pembahasan pinjaman daerah, sehingga langkah yang diambil yaitu walk out dari pembahasan,” ucapnya
Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD Belu Krintoforus Rin Duka, menyampaikan alasan lain yang menarik, soal pertimbangan aspek keuntungan ekonomis bagi daerah, bahwa Mengacu pada ketentuan PP 56 Tahun 2018 pasal 29 ayat 3, daerah harus memilih sumber pendanaan yang menguntungkan daerah. Artinya, daerah harus mengajukan pinjaman daerah ke banyak pihak (sumber pendanaan), sehingga bisa dipilah, lembaga pemberi pinjaman mana lebih menguntungkan. Pertanyaannya, kenapa hanya kepada Bank NTT saja? Tidak ke lembaga keuangan Bank lain juga?,” kata Isto dengan nada bertanya.
Isto juga menyoroti rincian peruntukan dari rencana pinjaman daerah ini, Sesuai Pasal 44 ayat 1, seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pinjaman daerah dianggarkan dalam APBD. Oleh karena itu, rincian penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pinjaman daerah wajib dituangkan dalam lampiran APBD. Saya, sebagai anggota fraksi Demokrat, menyikapi hal ini bahwa seharusnya angka Rp. 150 miliar, yang masuk dalam kajian pinjaman daerah ini, dikeluarkan dulu dari KUA PPAS Perubahan, sehingga tidak mempengaruhi postur APBD.
“Kita belum melihat realisasi fisik secara keseluruhan pada APBD murni 2022 dan kita buat hal yang sama dalam perubahan ini. Kita perlu kejelasan program dan kegiatan yang mana belum terealisasikan di APBD murni yang perlu kita bawa ke perubahan ini,” tegas Isto.
Menjawab pertanyaan, apa perlunya sehingga harus mengeluarkan rencana anggaran dari pinjaman dalam postur APBD-P? Jawab Isto, Karena dirinya sebagai anggota Fraksi serius dan fokus kepada realisasi anggaran dan fisik di APBD murni 2022 yang mau dibawa ke perubahan ini, sehingga jelas kenapa terjadi pergeseran.
Ketika ditanya, kenapa sampai bisa walk out, tidak bicarakan saja dulu dengan pemerintah? Jawab Isto, Di dalam KUA PPAS Perubahan, ada pergeseran dan setelah di cermati, ada ketambahan Rp. 150 miliar.
“Saya minta ini dikeluarkan dulu baru kita bahas. Tetapi, jawabannya bahwa semua sudah melalui kajian yang matang. Lalu, kita pertanyakan indikator apa atau rujukan apa yang menjadi ukuran untuk Rp. 150 miliar ini kita masukkan dalam KUA PPAS Perubahan sedangkan ini kan utang, kita pinjam uang dari Bank NTT. Sebagaimana seperti awal saya sampaikan bahwa pemberi pinjaman ini, daerah hanya melakukan konsultasi dengan satu Bank saja, tidak dengan Bank lain. sedangkan sesuai ketentuan PP 56 Tahun 2018 pasal 29 ayat 3, daerah harus memilih yang lebih menguntungkan daerah, maka daerah harus mengajukan pinjaman daerah ke banyak pihak, artinya lebih dari satu Bank. Oleh karena itu, kita menolak karena dasar ini. Lalu, penjelasan dari pak Sekda bahwa bunga 8%, pertanyaan saya, kita belum tahu karena penjelasan ini dari pemerintah kemudian kita disuruh untuk menyepakati, sedangkan kita belum tahu penjelasan dari Bank NTT, syarat dan ketentuan serta konsekuensi bunga pinjaman, apakah yang disampaikan oleh pemerintah ini sudah benar? Lalu penjelasannya rancu,” demikian alasan Isto melakukan walk out. (sp/pn)