penanusantara.com – Politik dalam perspektif sains dipahami seni bermain. Napoleon Bonaparte dengan metodologi catur dalam pertarungan politiknya. Hector dan Archilles dengan ketangkasan memainkan pedangnya. Wonder Woman dengan ketangkasan memanah dan menunggang kudanya.
Olehnya dunia politik itu hampir tak pernah sunyi. Selalu riuh, sedikit gaduh, penuh intrik dan terkadang membawah kita pada ruang komedi.
Sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkup sosial tentang pohon. Kata “menebang” adalah kata yang mengandung unsur pemaknaan pada obyek seperti tumbuhan seperti pohon.
Menebang dan memangkas memiliki makna yang berbeda, memangkas tidak selamanya menebang, sebab memangkas lebih pada tindakan yang kecil seperti merapikan tanaman.
Tapi dalam terminologi sosial, makna menebang selalu bersentuhan dengan pada aspek “kekuasaan” seseorang terhadap lingkungannya.
Misalnya bagaimana posisi APH terhadap perilaku korupsi. Sehingga selalu muncul diksi APH jangan tebang pilih. Filosofi semak belukar ketika ditebang dan dibersihkan tidak sedikitpun rumput tanaman liar yang tersisa.
Memilih untuk menebang tentu memiliki makna yang berbeda dengan tebang pilih. Kondisi sosial politik sepertinya memasuki era “perasaan” dalam mengelolah daerah/negara.
Bukan utopis, tetapi pengalaman empiris selalu mempertontonkan itu. Soal korupsi yang extra ordinary crime (kejahatan kemanusiaan), walau kekuatan hukum belum sepenuhnya tegak, tetapi paling tidak melalui lembaga politik minimal sudah melakukan perlawanan secara psikologis politik untuk menebang tindak pidana korupsi ini agar tidak menjalar jauh.
Eaton pernah bilang, past tend to corrupt, the corrupt absolutelly power..Kurang lebih mengandung makna bahwa korupsi itu akan menjadi sejadi-jadinya. Bukan berarti dengan adagium tersebut diatas membuat surut semangat kerja-kerja lembaga anti korupsi.
Di Taiwan tidak sedikit koruptor yg mati ditiang gantungan dan sebutir peluru. Penegakan hukum adalah sesuatu yang pasti dalam kehidupan bernegara. Ius summa ius umaniora keadilan itu adalah ketidakadilan itu sendiri.
Karenanya, tebang pilih sangat diakibatkan oleh adanya despotisme politik yang menghadang, proses bargaining selalu atas nama kebenaran, disini terkadang “Tuhan tergadai dalam tempat yang gelap”. Yah, kalau perang dapat terlihat kematian dimana-mana, tetapi korupsi kematian tak terlihat, tetapi menggerogoti jantung generasi dan masa depan kita.
Nah, kalau politik dipahami sebagai aktifitas kemanusiaan maka setidaknya pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan kekuatan politik, politik sebagai panglima, bukan semata mengharapkan “kegarangan” dari penegak hukumnya saja.
Oleh sebab itu, politik harus jadi panglima menyelamatkan hukum dalam mencegah perkara korupsi atau transaksi kasus. Perkara dugaan korupsi Awololong adalah tamparan keras wajah penguasa kita, disini. Secara “telanjang” dilakukan dan tanpa malu-malu sekalipun sudah dikritik berulang kali.
Proyek Awololong tidak berdiri tunggal, tapi sejak berlakunya Perbub Nomor 41 tahun 2018 sampai dengan ditandatangani Berita Acara Persetujuan APBD Perubahan 2018 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPRD bersama Bupati. Isi perut dari Perbub Nomor 41 tahun 2018 dibawah seutuhnya dalam APBD Perubahan. Dari peristiwa itu, keadilan rakyat yang diperjuangkan itu, nyaris hilang karena kegelapan nurani. Daerah ini dijajah oleh “kita” sendiri, sebuah kekejaman bukan ?
Sejatinya, daerah ini harus dibangun dari sebuah kehormatan, bukan gila hormat, daerah ini seyogyanya diselamatkan dengan kekuatan politik, bukan menjadikan politik sebagai kekuatan untuk memaksa “rasa kemanusiaan” menggelapkan kebenaran.
Oleh : Akhmad Bumi, SH