Suatu Hari di Tepi Pantai
anak-anak asyik mengayuh riang
di atas hamparan pasir melukis gembira
tawa mengucur dari wajah-wajah polos
di rumah impian dari kerang dan batu
kidung dersik menggamit kenang
riak-riak rindu pun mendebur
bak kecipak ombak di bibir pantai
senandika dalam kepala menggulung:
duh, andai saja boleh menggulang
tentu tak ada batu karang menumpuk
pada bahu dan kepala ini
namun sang kala tak dapat dipinang
ia adalah anak kecil yang sibuk berlari
tanpa hirau betapa lelahnya
aku mengejar sebuah keterlambatan
saat swastamita melambaikan tangan
kularungkan segala taklif dalam litani
semoga bebutir derana hinggapi atma
menyambangi arunika di hari esok
Kb, 28 November 2021
Di Siang yang Basah
:untuk Alm. Opu Guru Yohakim Kein
langit tampak murung, awan berwajah pekat
dari bibir dermaga itu, hujan turun
menjemput duka kami dari seberang
tanganmu mengatup selembar zikir
dengan wangi kamboja di atas katil, dingin
tenang dan damai yang janah
istrimu hujan, anak-anakmu hujan
sanak-saudaramu hujan, semua serba hujan
engkau karang pasrah menadah basah
dada kami ombak berkecamuk hanyut
asin lautan pecah di kelopak mata:
ikhlas kami mengalir
selamat jalan, telah engkau tunaikan segala
dalam jejak-jejak karya pengabdian
adalah bekal menuju asal
doa kami menjadi payungmu untuk rehat
kepada mula di siang yang basah ini
Solor, 13 November 2021
Lautan Hidup
di perut dermaga ini, orang-orang
lalu-lalang; datang dan pergi
datang menjinjing sekantong cinta
labuhkan kisah pelayaran
kemudian pergi menitipkan rindu biru
juga duka di palung hati yang sepi
demikianlah siklusnya!
Larantuka, 13 November 2021
Minggu Pagi
seperti kelopak langit yang tiba-tiba robek
pagi itu, tak ada kata pengantar
dari mulut seorang lelaki paruh baya:
“rajinlah ke gereja biar dosamu bersih”
dari dalam kamar mandi yang dingin
ada yang berteriak:
“kita hanya bisa mencuci muka
di sana bukan tempat mencari muka
apalagi mencuci dosa”
desir air berkecipak
lelaki itu pun pergi bersama harimau lapar
di dalam tempurung kepalanya
Kb, 09 Januari 2022
*) Tentang Penulis:
Tino Watowuan, lelaki gemini yang susah tidur malam, suka kopi, sepi, dan puisi. Sesekali belajar menulis opini dan berita. Sudah lama tidak menulis prosa. Sekarang ia betah di kampung halamannya Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur, NTT, setelah meninggalkan jejak petualangannya di Kota Makassar dan Kota Samarinda.
Puisi dan prosanya pernah tayang di media online dan cetak. Puisinya juga tergabung dalam buku “Sajak Terakhir” (Laditri Karya, Baturaja-Sumatra Selatan, 2020) bersama Komunitas Pejuang Literasi Penyair Indonesia (PLPI). Buku puisi solonya yang telah terbit berjudul “SMS untuk Tu(h)an” (Laditri Karya, Baturaja-Sumatra Selatan, 2021).